Pada masa kekhalifahan sahabat yang empat, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali (Khulafa ar-Rasyidin), istilah khalifah belum digunakan sebagai nama atau gelar yang menunjuk kepada suatu jabatan kepala pemerintahan. Ketika Abu Bakar as-Siddiq ditetapkan untuk menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, ia diberi gelar Khalifah Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW). Sebutan ini merupakan gelar khusus baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Nabi SAW memimpin masyarakat, dan bukan sebagai istilah yang menunjukkan pada jabatan.
Terdapat perbedaan antara sistem multi partai dan persaingan tidak sehat yang sering terjadi pada partai-partai pada umumnya. Begitu pula terdapat perbedaan antara demokrasi dan sistem syura yang benar dan penggunaan demokrasi atau syura yang hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan pemerintahan diktator yang mana partai hanya menjadi alat untuk melegitimasi tindakan yang merugikan masyarakat.
Ikhwanul Muslimin gerakan Islam terbesar di Mesir adalah sebuah organisasi pertama yang mengenalkan sistem multipartai ini secara konkrit. Awalnya, Ikhwanul Muslimin, menolak sistem partai tunggal dan mempercayai sistem multi partai dalam masyarakat Islam. Dalam pandangan organisasi ini, masing-masing kelompok harus diberi kebebasan untuk mengumumkan misinya dan menjelaskan garis-garis yang ditempuh selama syariah tetap menjadi konstitusi tertinggi, yaitu undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif yang bersifat otonomi yang dilindungi dan jauh dari kekuasaan atau pihak manapun.
Namun demikian, sistem multi partai ini tidak dengan sendirinya menjadi indikator bahwa penguasa mempunyai komitmen pada sistem musyawarah atau asas demokrasi.Sebenarnya, dunia Islam sudah mengenal sistem multi partai sejak zaman Khalifah Usman bin Affan. Sistem multi partai pada masa itu ditandai dengan muncul kelompok-kelompok oposisi terhadap penguasa. Oposisi terhadap pemerintahan Usman muncul setelah sepuluh tahun sejak ia menjadi khalifah dari warga Mesir dan Syam yang datang membanjiri Madinah dan melemparkan tuduhan-tuduhan.
Keberadaan kelompok oposisi ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh oposisi yang paling menonjol pada masa itu adalah para sahabat kenamaan, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah RA. Bahkan sekelompok sahabat tidak mau membaiat Ali.
Gerakan oposisi ini tidak melalui cara-cara damai dan cara dialog melainkan berkembang menjadi peperangan sengit seperti yang terjadi dalam perang Jamal (Unta) dan perang Shiffin yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib beserta pendukungnya dari penduduk Hijaz dan Muawiyah bin Abu Sufyan yang didukung oleh penduduk Syam.
Tahkim tersebut berakhir antara dua juru runding yaitu al-Asy’ari dan Amru bin Ash dari pihak Muawiyah, dengan keputusan melepaskan kepemimpinan Khalifah Ali serta mengembalikan kepemimpinan kepada umat untuk memilih lagi seorang khalifah baru yang akan memutuskan pertikaian dan menyelesaikan permasalahan serta ditaati oleh semua pihak. Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan oposisi baru terhadap Ali dari kalangan pendukungnya sendiri. Mereka itulah kaum Khawarij yang dipandang oleh sebagian orang sebagai partai politik pertama dalam Islam.
Kemudian pada saat Thalhah, Zubair, dan Aisyah kembali memberikan dukungan mereka terhadap Ali, muncullah secara bertahap satu kelompok setelah itu di bawah nama Syiah. Kelompok ini mulai menampakkan bentuknya dengan warna yang paling dominan pada saat ini adalah sentimen kuat terhadap Ali dan ahlul Bait. Dalam perjalanannya kelompok Syiah ini berkembang menjadi satu ideologi bagi mereka yang diperjuangkan.
Keberadaan kelompok oposisi ini atau saat ini lebih dikenal dengan istilah partai terus berkembang pada masa sesudah al-Khulafa ar-Rasyidun. Beberapa diantaranya adalah kelompok ahlal-adl wa at-Tauhid pimpinan Washil bin Atha’ dan kelompok Mu’tazilah di masa kekuasaan Dinasti Umayyah. [sya/dia/berbagai sumber]
Hak Non Muslim
Syariah Allah yang berhubungan dengan sanksi hukum terhadap kejahatan dan yang berhubungan dengan muamalat, diturunkan bukan saja untuk kaum muslimin, melainkan juga untuk non-muslim, meskipun tidak dibenarkan memaksa mereka menerima Islam sebagai agama dan akidah. Mereka diharuskan menerima Islam sebagai aturan kehidupan sipil. Sebab bagi non-muslim, Yahudi dan Nasrani, mereka tidak mempunyai ajaran agama tentang sanksi hukum Ilahiyah serta aturan muamalat. Di sana tidak didapatkan aturan tentang urusan duniawi.
Akan tetapi undang-undang Islam, meskipun memberikan kebebasan bagi non-muslim, di sana terdapat ikatan-ikatan dan aturan yang harus dipatuhi. Antara lain mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sanksi hudud dan qishash, ini dipandang sebagai aturan umum yang tidak dibedakan antara muslim dan non-muslim, serta antara wilayah satu dengan yang lainnya.
Kemudian mengenai sanksi ta’zir yaitu selain hukuman hudud dan qishash, Islam menyerahkan pada kondisi masa dan tempat. Dalam hal ini masing-masing daerah boleh menentukan sanksi hukuman yang sesuai.Aturan lainnya mengenai urusan muamalat, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Untuk urusan ini Islam memberikan keleluasaan kepada non-muslim. Dalam kondisi ini Islam tidak mengharuskan mereka melarang apa yang halal bagi agama mereka meskipun haram menurut Islam.
Kemudian mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan pribadi, seperti pernikahan, talak, wasiat, warisan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini warga non-muslim tidak diharuskan mengikuti syariah Islam. Pemberlakuan syariah Islam bagi non-muslim dalam masalah hudud dan muamalat merupakan hal yang diakui oleh seluruh undang-undang dunia modern. Meskipun bagi minoritas non-muslim mempunyai hukum sendiri, kecuali dalam masalah-masalah yang terkait dengan hukum keluarga.
Thomas Arnold dalam bukunya Ad-Da’wah ila Al-Islam mengemukakan, bahwa tujuan dikenakan jizyah kepad kaum Nasrani bukanlah sebagai bentuk sanksi atas penolakan mereka untuk masuk Islam, melainkan mereka melaksanakan pembayaran jizyah ini bersama warga non-muslim di bawah pemerintahan Islam yang diberi kebebasan memeluk agama mereka tetapi tidak masuk dalam jajaran militer. Mereka membayar jizyah sebagai ganti jaminan perlindungan yang diberikan kaum muslimin.
Hak Politik Wanita
Di kawasan negara-negara Arab terjadi perdebatan sengit mengenai hak wanita untuk ambil bagian dalam pergulatan politik yang diwakili dalam hak pemilihan dan hak duduk di parlemen. Sebagian aktifis wanita beranggapan bahwa hak untuk terlibat dalam politik adalah kunci yang akan dapat membukakan bagi kaum wanita semua kehormatan dan kemuliaan. Oleh sebab itu diadakan secara khusus berbagai konferensi dan pertemuan guna membicarakan masalah hak politik bagi kaum wanita.
Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat mengenai hak-hak politik bagi wanita. Perbedaan pendapat ini kembali pada konsep mereka masing-masing mengenai sifat pekerjaan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa wanita tidak dibenarkan menduduki jabatan menteri. Sebab Imam atau khalifah harus meminta pendapat dari para menterinya pada saat-saat tertentu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi Qadli (hakim) menurut syara. Sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah pikir).Sementara di kalangan ulama modern ada yang berpandangan bahwa wanita mempunyai hak-hak politik sepenuhnya selain dari pimpinan negara. Pendapat ini dianut oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha, DR Yusuf al-Qaradlawi, Syekh Muhammad Shalthout, dan DR Muhammad Yusuf Musa.
Alasan lainnya, Islam tidak mencabut hak wanita dan tidak melarangnya mengutarakan aspirasi dan pendapatnya, melainkan memberinya kebebasan penuh seperti halnya kaum pria. Sementara kaidah fikih menegaskan bahwa pada dasarnya yang ada dalam adat istiadat itu boleh secara hukum selama tidak ada nash yang mengharamkan.(rpb)
2 Komentar
makasih ya sobat infonya. update terus ya artikelnya disini
BalasHapuswah masih lum ada updatenya ya?
BalasHapus