Translate

KRISTIANOLOGI

Quiapo Church (Minor Basilica of the Black Nazarene), Manila City

Boleh jadi tidak banyak dari kita yang akrab dengan sebutan "Kristianologi"  dibandingkan dengan "Kristologi" yang dipahami oleh umumnya umat Islam sebagai ilmu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan teologi Kristen.

Padahal pengertian yang disebut belakangan ini sebetulnya lebih tepat disematkan pada kata "Kristianologi" yang secara menyeluruh memang merupakan satu paket pengetahuan yang meliputi segala sesuatu tentang Keristenan. 

Sama halnya dengan sebutan "islamologi" yang lebih populer di kalangan apologist Kristen dibandingkan dengan di kalangan umat Islam sendiri, "Kristianologi", atau lebih spesifik lagi "Kristianologi Qurani", juga tidak begitu akrab di telinga pada umumnya umat Kristen -- bahkan di telinga umat islam sendiri -- karena istilah ini lebih banyak dibicarakan di kalangan terbatas kaum pelajar Islam dalam konteks keilmuan, khususnya apologetika lintas iman Islam dan Kristen, berdasarkan telaah komparatif Al-Quran dan alkitab.  

Hanya sebagai referensi, menarik untuk disimak salinan BAB-1 dari buku tulisan K. H. Simon Ali Yasir, Dosen Ilmu Perbandingan Agama di beberapa universitas Yogyakarta berikut ini yang dimaksudkan sebagai pengantar pengetahuan tentang Kristianologi.

1.1. Istilah “Kristologi” dan “Kristianologi Qurani”
Secara definitif-konseptual ada perbedaan antara umat Islam dengan Kristen tentang istilah ‘kristologi’. Menurut Kristen, seperti dijelaskan oleh Dr. Nico Syukur Dister, Ofm: dalam bukunya Kristologi, Sebuah Sketsa, hlm. 21: “Kristologi berarti ilmu pengetahuan tentang Kristus”. 

Selanjutnya ia katakan, bahwa sebagai ilmu pengetahuan, Kristologi tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian, bahkan sub-bagian dari sebuah ilmu pengetahuan yang lebih luas, yakni teologi. 

Kalau demikian lebih tepat lagi menyatakan bahwa Kristologi adalah teologi tentang Kristus.2 Tetapi menurut Pendeta Dr. Peter Wongso: “Kristologi sebenarnya tercakup di dalam Soteriologi (The Doctrine of Salvation); sebab keilahian, kemanusiaan dan pekerjaan-Nya mempunyai hubungan erat dengan karya penyelamatan-Nya, namun ruang lingkup Soteriologi sangat besar, yakni mencakup kejatuhan manusia, asal mula dosa, penghakiman dan sebagainya.”3 Dari penjelasan Nico (dari sekte Roma Katolik) dan Wongso (dari sekte Protestan) di atas, jelas bahwa Kristologi itu hanya berkutat pada ihwal Yesus sebagai Kristus saja.

Tidaklah demikian di kalangan umat Islam, sebab yang dimaksud dengan Kristologi adalah ilmu pengetahuan tentang Kristianitas. Kristianitas dalam arti agama, yakni agama Kristen atau Nasrani. Kristologi ruang lingkupnya sangat luas, karena mencakup ilmu pengetahuan tentang: Kitab Suci atau Bibel, Iman Kristen atau Dogmatika Gereja, Trinitas, Roh Kudus, Yesus Kristus, Sakramen, Liturgia, Kerahiban, Nubuat, Dosa Waris dan Penebusannya, dan lain sebagainya. Hal ini selaras dengan petunjuk Alquran yang telah menyoroti Kristianitas secara tuntas dalam berbagai aspeknya. 
Kontroversi ini hilang jika umat Islam menggunakan istilah “Kristianologi”, artinya ilmu pengetahuan tentang kekristenan, yang di dalamnya terdapat kristologi, mariologi, soteriologi, dan sebagainya. 
Secara harfiah istilah kristologi kurang tepat, akan lebih tepat jika digunakan istilah Kristianologi. Dan yang paling tepat adalah Kristianologi Qurani atau Kristianologi Islami. Istilah terakhir ini yang paling tepat karena orientasinya berdasarkan Alquran atau Islam. Oleh karena itu ilmu ini sifatnya subyektif, timbul “dari dalam”, yang lahir dari jiwa orang yang beriman dan taqwa. Iman dan taqwa berdasarkan Alquran dan Hadits.

Kristologi berbeda dengan Kristianologi Qurani. Perbedaannya, Kristologi termasuk dalam perbandingan agama (comparative religions), sedangkan Kristianologi Qurani tak termasuk dalam perbandingan agama, sebab perbandingan agama hanya membahas doktrin pelbagai agama dengan menyajikan persamaan dan perbedaannya tanpa evaluasi tentang kebenaran dan kesalahannya. Sedangkan Kristianologi Qurani (dalam buku ini) mengevaluasi tentang benar-salahnya Kristianitas berdasarkan Alquran, dengan alasan antara lain: 
 
  1. Alquran sebagai Alfurqân atau Pembeda,4 yakni yang membedakan kebenaran dan kepalsuan, termasuk kebenaran dan kepalsuan yang terdapat pada agama-agama terdahulu, terutama Kristen. 
  2. Alquran sebagai Mushaddiq5 artinya yang membetulkan. Maksudnya, yang menyungguhkan kebenaran dalam kitabkitab suci terdahulu, atau membetulkan dalam arti mengoreksi, meluruskan ajaran Nabi yang telah diselewengkan oleh manusia. Dalam agama-agama terdahulu terdapat banyak penyimpangan, teristimewa Kristen. Dapat juga berarti menggenapi (nubuat) atau menyempurnakan syari’at para Nabi terdahulu. 
  3. Alquran sebagai Mubayyin6 atau yang menjelaskan. Maksudnya yang menjelaskan segala sesuatu yang masih samar-samar dalam agama-agama terdahulu, khususnya dalam agama Kristen.

Jika demikian, Kristianologi Qur’ani di sini termasuk bagian dari ilmu-ilmu Alquran (Al-‘ulûmul-Qur’ân), tepatnya termasuk sub-bagian Ilmu Tafsir Alquran. Sebagaimana dimaklumi, Alquran adalah hudal-lin-nâs, petunjuk bagi umat manusia. Petunjuknya sempurna, karena mencakup segala aspek kehidupan umat manusia dalam berbagai keadaan. Dalam rangka menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup secara kâffah, integral dan komprehensif,7 kini banyak dijumpai terjemahan dan tafsir Alquran dalam berbagai bahasa dunia. Dalam bahasa Indonesia saja telah berjumlah puluhan, dan akan lebih banyak lagi jika tafsir bahasa daerah dihitung. Tafsir Alquran yang sudah ada semenjak zaman Nabi Muhammad saw. dalam perkembangannya mempunyai corak yang bermacam-macam. Ada yang menafsirkan dengan riwayat, misalnya Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan sebagainya; ada pula yang menafsirkan dengan lebih menitikberatkan kepada masalah tasyri’ atau hukum, misalnya Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Abu Bakar Ibnul-‘Arabi, dan sebagainya; tafsir yang lebih menitik-beratkan masalah falsafah, misalnya Tafsir Imam Fahruddin Ar-Razi, Tafsir Zamakhsyari, dan sebagainya. 

Singkatnya, setiap saat selalu ada tafsir Alquran yang ditulis oleh para ulama sesuai dengan kemampuan dan keahlian atau spesialisasinya masing-masing. Ada yang ditulis lengkap, ada yang ditulis dalam sektor-sektor tertentu, misalnya: sektor keilmuan biologi, sektor pendidikan, sektor kesejarahan, sektor kekristenan, dan sebagainya, yang semuanya bertujuan menuntun umat manusia ke arah jalan yang benar. 

Dengan makin meningkat-majunya sains dan teknologi serta tantangan zaman yang semakin berat dan canggih, maka sangat terasa kebutuhan akan tuntunan Alquran sebagai pedoman dalam segala aspek kehidupan. Tafsir yang praktis dan pragmatis amat diperlukan. Kebutuhan itu akan lebih mudah dipenuhi jika Alquran ditafsirkan secara sektoral atau maudlu’iyyah. Untuk menghadapi bahaya tanshiriyyah atau kristenisasi yang semakin canggih diperlukan penafsiran sektoral ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan Kristianitas atau An-Nashrâniyyât. Jika demikian halnya, Kristianologi Qurani (An-Nashrâniyyatul Qur’âniyyah) atau Kristianologi Islami (An-Nashrâniyyatul Islâmiyyah) yang secara praktis disebut Kristianologi saja, amat signifikan dalam memayu hayuning bawana, memayu hayuning manusa dan memayu hayuning bangsa.

1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan Kristianologi Qurani adalah untuk memperdalam dan memperluas penafsiran ayat-ayat Alquran tentang kristianitas, yang jika dirinci mencakup ayat-ayat tentang:

  • Umat Kristen atau Nasrani dulu, sekarang dan yang akan datang, sebagaimana telah dijelaskan dan dinubuatkan dalam Alquran, Hadits dan Bibel.
  • Teologi atau dogmatika agama Kristen. Intinya adalah Trinitas yang dijabarkan dalam kedua belas Pasal Iman.
  • Isa Almasih atau Yesus Kristus, meliputi kelahirannya, kenabiannya, mukjizatnya, penyalibannya dan sejarahnya.
  • Ibadat agama Kristen atau sakramen-sakramen dan liturgia dalam Gereja.
  • Mariologi yang membahas riwayat hidup Maria dan nubuat serta penuhanan terhadap dirinya.
  • Bibel atau Kitab Suci agama Kristen yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
  • Eskatologi atau zaman akhir, yakni tegaknya Kerajaan Allah (Kingdom of Allah) atau Kerajaan Sorga (Kingdom of Heaven) di bumi.

Jadi Kristianologi Qur’ani bukan merupakan justifikasi untuk mendiskreditkan agama dan umat Kristen, karena perbuatan itu dikutuk oleh Allah. Juga bukan justifikasi terhadap Israeliat dan Nasraniat yang menyesatkan, meski banyak ayat-ayat Bibel dan pendapat-pendapat tokoh-tokoh Kristen dikutip. Hal ini juga tak berarti mengurangi kesempurnaan dan kewibawaan Alquran, tetapi justru sebaliknya untuk menguji dan membuktikan kebenaran pernyataan Alquran sebagai Alfurqan, Mushaddiq, Mubayyin dan sebagainya seperti telah disinggung di atas. Juga sebagai bukti kesempurnaan Islam yang menyempurnakan agama sebelumnya (Kristen), sebagaimana telah dinubuatkan oleh Yesus Kristus dalam Injilnya.8

1.3. Manfaat
Sebagai sub-bagian dari bagian Ilmu Tafsir, banyak sekali manfaat Kristianologi. Jika dirinci ialah: 
  1. Untuk memperteguh iman, yakni iman kepada: Allah Yang Maha Esa, para Malaikat, Kitab Suci, para Nabi dan Hari Akhir9 serta Takdir Ilahi. Dalam membicarakan masalah Tauhid pasti membahas syirik yang meliputi macam-macam dan bahayanya. Trinitas termasuk syirik, demikian pula tentang penuhanan Yesus Kristus dan Roh Kudus yang menjadi dogma pokok Gereja. Dalam membicarakan Iman kepada Kitab Suci tentu membahas Taurat, Zabur, Injil yang juga dimuliakan oleh umat Kristen. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan Alquran bahwa kitab-kitab suci sebelumnya telah diubah10 dan mengandung desas-desus11 perlu menelusuri Kitab Bibel. Demikian pula tentang pernyataan Alquran bahwa dirinya telah dinubuatkan oleh kitab-kitab suci sebelumnya, juga perlu membuka dan membaca Bibel. 
  2. Untuk memperdalam pengertian agama dan memperluas wawasan. Misalnya dalam Islam umat Islam dituntun agar memanjatkan do’a dipimpin ke jalan yang benar, yaitu jalannya orang yang dikaruniai nikmat, bukan jalan orang yang mendapat murka dan bukan pula jalan orang yang tersesat.12 Siapa orang yang mendapat murka? Jawabannya tentu kaum Yahudi. Mengapa mendapat murka? Karena membunuh para Nabi, seperti Zakaria, Yahya dan Isa Almasih (yang digagalkan oleh Allah), atau karena kedurhakaan mereka terhadap Allah. Siapa yang tersesat? Umat Kristen. Mengapa mereka tersesat? Karena mengikuti keinginan orang-orang terdahulu yang tersesat dan menyesatkan banyak orang.13 Mereka terkontaminasi oleh paganisme dalam konsep teologinya14 dan mengabaikan syariat, sehingga “tak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tak beragama yang benar”.15 Sejak kapan hal itu terjadi? Sepeninggal Isa Almasih.16 Data-datanya dapat ditemukan dalam Bibel dan sejarah Gereja. 
  3. Untuk membentengi diri dari bahaya apostasi (pemurtadan) umat Islam yang setiap saat mengancam,17 khususnya dari umat Kristen yang menurut petunjuk Alquran mereka itu melancarkan: - Gerakan tanshiriyah atau Kristenisasi: “Dan kaum Yahudi tak senang kepada engkau, demikian pula kaum Nasrani, terkecuali apabila engkau mau mengikuti agama mereka”.18 - De-Islamisasi, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat: “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tak memperkenankan itu kecuali hanya menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orangorang kafir tak suka”.19 Yang dimaksud cahaya Allah adalah agama Islam, sedangkan yang dimaksud mereka ialah kaum Kristen yang mempertuhan ulama dan Isa Almasih.20 - De-Imanisasi, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat: “Kebanyakan kaum Ahlikitab menghendaki agar mereka dapat mengembalikan kamu dalam kekafiran setelah kamu beriman, karena perasaan dengki yang timbul dalam batin mereka, setelah kebenaran menjadi terang bagi mereka”.21 
  4. Untuk mawas diri dari pengaruh buruk Israeliat dan Nasraniat. Nabi Muhammad saw. pernah menubuatkan bahwa umat Islam sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta akan mengikuti kelakuan kaum Yahudi dan Kristen (Bukhari). Jika kaum Yahudi dan Kristen itu mempertuhan ulama22 dan hanya mengikuti ayah-ayah mereka secara membabi-buta,23 umat Islam pun akan berbuat demikian. Oleh karena itu Rasulullah saw. menyatakan keprihatinannya: “Tuhanku, sesungguhnya kaumku memperlakukan Alquran ini sebagai barang yang ditinggalkan”.24 
  5. Untuk bekal dakwah. Islam adalah agama dakwah, karena Allah telah berfirman: “Berdakwahlah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik, dan berbantahlah dengan mereka dengan cara yang amat baik”.25 Umat dakwah Islam adalah seluruh umat manusia, baik secara etnis maupun secara teologis. Secara etnis, risalah Islam tidak hanya untuk bangsa Arab saja, tetapi juga untuk segala bangsa, maka khithab Alquran seringkali diawali dengan “Wahai manusia...”26 atau “Wahai anak cucu Adam...”.27 Secara teologis, risalah Islam tidak hanya untuk umat Islam saja, tetapi juga untuk umat lain, maka dari itu khithab Alquran bukan hanya ‘Wahai orang-orang yang beriman’ saja, melainkan juga ‘Wahai orang-orang kafir...’,28 dan ‘Wahai kaum Ahlikitab...’29 atau ‘Wahai orang-orang yang diberi Kitab...’,30 ‘Wahai kaum Yahudi ...’.31 
  6. Untuk bekal dialog teologi, khususnya berdialog dengan umat Kristen yang secara khusus dianjurkan oleh Allah: “Dan janganlah kamu berbantah dengan kaum Ahlikitab kecuali dengan cara yang paling baik”.32 
  7. Untuk senjata ghazwul-fikr, perang pemikiran. Nabi Muhammad saw. telah menubuatkan bahwa serangan Dajjal pada zaman akhir dapat dikalahkan dengan dalil. Dalil-dalil itu kita peroleh bukan hanya dari Alquran dan Hadits saja, tetapi juga dari Bibel, kitab suci agama Kristen. 
  8. Untuk membangun landasan teologis oksidentalisme karena budaya dan peradaban Barat diilhami oleh agama Kristen yang bersumberkan Bibel, misalnya tentang sistem hidup kapitalisme (sumbernya Kej 1: 26-28) dan sosialisme atau komunisme (sumbernya profetik Yesaya tentang Kerajaan Damai). Hal ini sebagai kilas balik dari orientalisme yang memihak kepada gereja. 
  9. Untuk memantapkan toleransi antar-umat beragama, khususnya antar-umat Islam dengan umat Kristen yang menjadi peran utama di muka bumi ini. Sebagaimana dimaklumi, sejak semula Islam lahir dalam ‘pertentangan’ dengan Kristen, terutama dalam bidang akidah. Jika lawan pendapat itu kawan berfikir, maka lawan akidah merupakan kawan dialog. Lewat dialog toleransi dimantapkan, yakni toleransi yang aktif dan dinamis, karena di dalamnya terdapat agree in disagreement yang sering dinyatakan oleh Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, MA. dalam berbagai kesempatan. Dan Allah pun telah menyatakan bahwa “innakum lafî qaulin mukhtalit” sesungguhnya kamu adalah orang yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda.33 
  10. Untuk mengantisipasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) yang sangat mengganggu kerukunan antar-umat beragama. Bagi stabilitas nasional, SARA merupakan racun yang membahayakan. Lewat Islam racun itu dapat dirubah menjadi obat mujarab. Islam menjelaskan bahwa Allah menciptakan umat manusia menjadi berbagai suku dan bangsa34 yang beraneka macam bahasa dan warna kulitnya35 semuanya bertinggal di satu bumi yang satu atap, langit.36 Hidup mereka bertebaran37 menjadi berbagai kelompok bangsa, yang tiap-tiap bangsa telah dibangkitkan Utusan38 atau Nabi39 yang memberikan petunjuk40 yang akhirnya melahirkan berbagai macam agama, seperti: ‘Yahudi, Sabiah, Kristen dan Majusi’.41 Hal ini maksud dan tujuannya bukan agar saling membunuh atau bertengkar, melainkan agar saling kenal mengenal dan saling arif mengarifi.42 Maka dari itu umat Islam dianjurkan agar melindungi tempat-tempat suci, seperti: biara, gereja, sinagoga atau kanisah dan masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.43
Dengan demikian, Kristianologi Qurani mempunyai peran strategis dalam rububiyah Ilahi menuju tegaknya Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga di muka bumi yang karakteristiknya pluralistik-inklusivistik.

1.4. Metode yang digunakan: Kaidah Tafsir
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu metode yang cocok. Karena Kristianologi Qurani merupakan sub-bagian dari Ilmu Tafsir Alquran, maka kaidah tafsir yang digunakan sebagai parameter. Sesuai dengan sumber rujukannya, yakni Alquran, Hadits Nabi dan Bibel, maka setiap permasalahan, bab atau topik didasarkan atas atau didukung oleh ayat-ayat Alquran, Hadits dan Bibel lalu digali dan dianalisis rahasia kebenarannya berdasarkan kaidah tafsir. Kaidah tafsir Alquran, Hadits dan Bibel yang digunakan seperti di bawah ini.

1.4.1. Kaidah Tafsir Alquran
Alquran yang menjadi sumber rujukan pertama dalam Kristianologi Qurani adalah Firman Allah44 yang dilindungi oleh Allah dengan melibatkan berbagai pihak.45 Penyusunan seperti dalam satu mushaf sekarang ini pun atas tanggungan Allah, demikian pula pembacaan dan penjelasannya,46 bahkan kaidah penafsirannya pun berada di tangan Allah, seperti dinyatakan dalam ayat:

“Dia ialah yang menurunkan Kitab kepada engkau; sebagain ayat-ayatnya bersifat menentukan (muhkamat) – inilah landasan Kitab – dan yang lain bersifat ibarat (mutasyâbihat). Adapun orang yang hatinya busuk, mereka mengikuti bagian yang bersifat ibarat, karena ingin memberi tafsiran (sendiri). Dan tak ada yang tahu tafsirnya selain Allah, dan orang yang kuat sekali ilmunya. Mereka berkata: Kami beriman kepadanya, semua ini adalah dari Tuhan kami. Dan tak ada yang mau berpikir, selain orang yang mempunyai akal.47

Menurut ayat suci di atas, ayat Alquran dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu: Pertama, ayat muhkamat, yakni ayatayat yang bersifat menentukan yang menjadi landasan kitab. Ayat-ayatnya berupa perintah atau larangan dan penegasan yang tak perlu tafsiran. Cukup dipahami secara harfiah saja. Kedua, ayat-ayat mutasyabihat, yakni ayat-ayat yang bersifat ibarat, metaforis. Ayat kedua inilah yang memerlukan tafsiran. Kaidah tafsirnya seperti dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali dan para ulama atau mufassir lain intinya adalah sebagai berikut: 
  1. Tafsiran ayat mutasyabihat tak boleh bertentangan dengan ayat muhkamat yang menjadi landasan pokok asasi agama. 
  2. Ayat-ayat yang bersifat zhanniy atau tidak pasti harus dihubungkan dengan ayat-ayat yang bersifat qath’iy (pasti) dan yang zhanniy tak boleh bertentangan  dengan yang bersifat qath’iy.
  3. Ayat-ayat yang bersifat khusus harus dihubungkan dengan ayat-ayat yang bersifat umum, dan tak boleh bertentangan dengan yang umum, kecuali ada istisnâ’ atau perkecualian. 
  4. Sumber tafsir bukanlah pendapat dan angan-angan manusia. Hanya Allah dan orang yang kuat sekali ilmunya (arrâsihuna fil ‘ilmi) yang tahu tafsirnya, karena Qur’an itu Firman-Nya dan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih Dia berkenan menyampaikan ilmu-Nya. 

Jika dirinci sumber tafsir Alquran ini ada tujuh macam, yaitu: 

  1. Ayat Alquran itu sendiri. Tafsirul-Qur’an bil-Qur’an, menafsirkan Alquran dengan Alquran: fadzakkir bil-Qur’ân, maka berilah peringatan dengan Alquran48. Implementasinya sebagai berikut: - Secara tekstual, yakni dengan memperhatikan arti harfiah atau literal. Arti suatu ayat akan menjadi lebih jelas jika dihubungkan dengan ayat-ayat lain yang sejenis. Ayat-ayat itu saling menerangkan, sifatnya komplementatif;49 tak ada ayat yang saling bertentangan atau kontradiktif.50 - Secara kontekstual, baik konteks literal (sastra) maupun konteks historikal (kesejarahan). Konteks literal dilakukan dengan memperhatikan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu ruku’ (pasal). Sedang konteks historikal dilakukan dengan memperhatikan latar-belakang makro, yakni adat-istiadat, budaya, dan pranata-pranata sosial masyarakat Arab, dan latar-belakang mikro, berupa asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat. Cara ini memperjelas penafsiran secara tekstual, karena makna suatu ayat itu dipengaruhi oleh peristiwa, pelaku dan waktu tertentu yang menjadi unsur pokok dalam asbabun-nuzul suatu ayat atau surat. - Secara kontentual, yakni dengan melihat topik, surat (bab) dan kelompoknya, baik surat-surat Makiyah maupun Madaniyah. Istanthiq Alquran (‘Ajaklah Alquran berbicara’ atau ‘Biarkan ia menguraikan maksudnya’) – konon itu pesan Ali bin Abi Thalib, kata Dr. M. Quraish Shihab dalam ‘Membumikan’ Alquran, hal. 87. Bagaimana maksud setiap surat antara lain juga dijelaskan oleh Alquran dan Terjemahannya Departemen Agama RI. 
  2. Hadits Nabi. Hadits Nabi menjadi sumber tafsir yang kedua. Digunakan setelah seseorang tak menemukan dalam Alquran. Hal ini merupakan urutan yang wajar, karena Nabi Muhammad saw. adalah satu-satunya orang yang paling tahu akan arti dan maksud ayat. Di samping itu, beliau mendapat bimbingan langsung dari hadirat Allah.51 
  3. Atsar Sahabat. Tafsiran para sahabat Nabi perlu diperhatikan, karena mereka orang yang mendapat refleksi langsung dari Nabi Muhammad saw. Mereka adalah orang-orang kudus. 
  4. Hati Nurani. Hati Nurani juga menjadi sumber tafsir, sebab antara Alquran dengan hati nurani murni terdapat hubungan mistis yang sangat erat. Lebih-lebih hati nurani orang-orang yang disucikan oleh Allah.52 Hal ini terdapat dalam ucapan atau tulisan mereka. 
  5. Bahasa Arab. Bahasa Arab dengan kamus dan ilmu-ilmu bahasa Arab juga menjadi sumber tafsir, karena Alquran diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang terang.53 
  6. Sunnatullah. Sunnatullah di alam kasar juga salah satu sumber tafsir, terutama ayat-ayat yang berkenaan dengan alam semesta. Oleh karena itu seringkali Alquran menganjurkan pembacanya agar memperhatikan alam semesta dengan hukum-hukumnya. 
  7. Ilham dan kasyaf para wali dan Mujaddid serta Mujtahid. Mereka adalah para ulama pewaris Nabi atau ulama Islam yang seperti para Nabi Bani Israel. Mereka menafsirkan Alquran bukan hanya secara ijtihadiyah saja, melainkan pula secara ilhamiyah.

1.4.2. Kaidah Tafsir Hadits
Sunnah atau Hadits Nabi, yaitu ucapan, perbuatan dan taqrir atau ketetapan Nabi Muhammad saw. merupakan keterangan dan penjelasan tentang seluk beluk hukum dan akidah Islam dan tafsir ayat-ayat Alquran. Meski Nabi saw. sendiri tak menafsirkan semua ayat Alquran – menurut M. Husain Az-Zahabi dalam kitabnya At-tafsir wal mufassirun, hal. 53, sebagaimana dikutip oleh Quraisy Shihab – tetapi Hadits Nabi menjadi sumber kedua ajaran Islam, setelah Alquran. Cara memahaminya dapat secara tekstual atau kontekstual. Kaidahnya: 
 
  • Sesuai dengan petunjuk Alquran. Tugas Rasulullah saw. adalah menjelaskan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka, yakni Alquran. Pemberi penjelasan tak mungkin bertentangan dengan ‘apa yang hendak dijelaskan’. 
  • Memperhatikan Hadits-hadits lain yang sama temanya. Mengembalikan yang mutasyabihat kepada yang muhkamat, mengaitkan yang mutlak dengan yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas atau khusus. 
  • Memperhatikan latar belakangnya, situasi dan kondisi serta tujuannya atau asbâbul-wurûd-nya. Jika untuk memahami Alquran perlu mengetahui asbâbun-nuzul-nya, untuk memahami Hadits perlu memahami asbâbul-wurûd-nya. 
  • Tak bertentangan dengan sunnatullah, terutama Hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah non agama atau keduniawian dan ilmu pengetahuan.

Kaidah tersebut diangkat dari buku Bagaimana Memahami Hadits Nabi saw. karya Dr. Yusuf Qadhawi yang telah diterjemahkan oleh M. Al-Baqir, diterbitkan oleh Penerbit Karisma. Karya ulama lain dapat ditambahkan demi kesempurnaan Kaidah Tafsir Hadits yang sekarang dapat dikatakan masih langka.

1.4.3. Kaidah Tafsir Bibel
Bibel atau Alkitab merupakan sumber rujukan kristianologi yang penting. Kitab Bibel terdiri dari dua bagian, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang oleh umat Kristen sering disebut sebagai Taurat dan Injil. Pada hakikatnya, Bibel bukanlah Taurat, Zabur, Injil, serta kitab para Nabi yang dalam Alquran sering disebut sebagai mâ anzalallâh (apa yang Allah turunkan)54 yakni Wahyu yang diturunkan sebelum Rasulullah saw.,55 tetapi Bibel sering disebut sebagai mâ ma’ahum (apa yang bersama mereka)56 atau indahum (pada sisi mereka).57 Bibel telah ada sejak zaman Rasulullah saw., bahkan sejak lama sebelum beliau lahir. 

Meski Bibel bukan mâ anzalallâh tetapi di dalamnya masih terdapat sebagian kebenaran risalah para Nabi terdahulu. Jadi dalam Bibel itu tidak seluruhnya salah dan tidak pula seluruhnya benar, maka dari itu Rasulullah saw. pernah bernasihat kepada para sahabat – yang sebenarnya untuk umatnya sepanjang zaman, termasuk kita sekalian – agar jangan membenarkan Ahlikitab dan jangan pula menyalahkan mereka (Bukhari). Maksudnya, jangan membenarkan seluruh isi Bibel, karena mengandung banyak kesalahan; dan jangan pula menyalahkan seluruh isi Bibel, karena masih ada ajaran di dalamnya, misalnya tentang Keesaan Tuhan ajaran para Nabi. 

Menurut umat Kristen, Bibel itu merupakan pernyataan (revelation) Ilahi yang manusia harus menafsirkannya. Menurut Herlianto dalam menafsirkan Bibel harus memperhatikan prinsip-prinsip tertentu, seperti dikemukakan oleh A. B. Michelson dalam bukunya Interpreting the Bible (1966), yakni: 
 
  • Tekstual; kita harus membaca dengan hati-hati apakah ayat itu sendiri berkata tentang arti harfiah (literal) atau kiasan (figuratif), kadang-kadang ayat itu sendiri cukup jelas artinya: “We should study what the scripture have to say, direct or indirectly about their own inspiration, what do the biblical writers actually claim?” (hal. 92).
  • Kontekstual; jika ayat itu sendiri kurang jelas, biasanya dengan melihat konteksnya (ayat-ayat yang berhubungan) atau teksteks paralel kita bisa menghayati arti dan jalan pikiran serta apa yang dimaksud penulis: “Context is basic because it forces the interpreter to examine the entire line of thought of the writer ... context is important because thought is usually expressed in a series of related ideas” (hal. 100). 
  • Kontentual; kita juga perlu memperhatikan teks itu dalam hubungannya dengan kesatuan isi seluruh Alkitab: “One can not properly handle context until he has a good grasp of biblical content ... Biblical content is essential for the much needed of context” (hal. 100).58

Prinsip atau kaidah tersebut dapat kita maklumi, memang demikianlah kaidah penafsiran setiap karya tulis. Tetapi perlu diingat, bahwa Bibel itu tidak seluruhnya berasal dari Allah, dan tidak seluruhnya benar di mata Allah, karena apa yang dari Allah telah dirubah atau ditambah oleh manusia, maka dari itu penafsiran yang benar menurut kaidah di atas belum tentu benar. Kita ambil contoh misalnya ayat yang berbunyi sebagai berikut:

“Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.” Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”59

Atas dasar ayat tersebut jelaslah bahwa menurut Bibel yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ishak, bukan Ismail. Secara tekstual benar, karena secara literal tertulis kata yakni Ishak. Secara kontekstual juga masih bisa dibenarkan karena teks-teks paralel, jalan pikiran dan maksud penulis bersandar kepada kata yakni Ishak itu. Tetapi secara kontentual jika dibenarkan timbul kerancuan karena adanya penegasan yakni Ishak. Dalam ayatayat sebelumnya memang ada isyarat, bahkan janji Ilahi bahwa lewat keturunan Ibrahim segala bangsa mendapat berkat.60 Hal ini menjadi inti seluruh isi Bibel. 

Menurut Paulus, seorang keturunan Ibrahim itu adalah Kristus.61 Kristus memang keturunan Ibrahim lewat Ishak, tetapi benarkah Ishak yang dikorbankan oleh Ibrahim? Ini kontroversial. Jika kita perhatikan secara keseluruhan isi perjanjian Ilahi dengan Ibrahim semenjak Ibrahim belum dianugerahi putera sampai kepada kelahiran Ismail dan disusul kelahiran Ishak terdapat benang merah bahwa penegasan yakni Ishak adalah sisipan (tahrif). Dengan demikian ayat Kej 22:2 mengalami distorsi. Tanpa sisipan itu sebenarnya makna ayat cukup jelas sebagaimana ayat Alquran 37:102 yang tak menyebut-nyebut nama anak (tunggal) yang dikorbankan oleh Ibrahim, tetapi disebut sifatnya, yakni sabar. Di tempat lain diterangkan bahwa Ismail anak Ibrahim adalah seorang yang sabar sebagaimana Zulkifli dan Idris.62 Dengan demikian jelas, bahwa yang dikorbankan Ibrahim adalah Ismail, bukan Ishak. Jika demikian seorang keturunan Ibrahim63 yang lewat perantaraannya segala umat manusia mendapat berkat Ilahi64 bukanlah Yesus Kristus. Dia tiada lain adalah Muhammad saw., keturunan Ibrahim melalui isterinya, Siti Hajar. 

Penegasan ‘yakni Ishak’ itu tak pantas dikemukakan, sebab bukan hanya memperbodoh Ibrahim dengan menganggap beliau tak tahu akan arti anak tunggal, tetapi juga membuat rancu kalimat yang jelas, karena: 
  1. Membuat ayat itu bertentangan dengan ayat-ayat lain yang menerangkan, bahwa Ismail adalah anak Ibrahim. Sebutan anak tunggal itu hanya dapat diterapkan kepada Ismail sampai usia 14 tahun, sebelum Ishak lahir. Menurut Kej 16:16 Ismail dilahirkan tatkala Ibrahim berusia 86 tahun, dan menurut Kej 21:5 Ishak lahir tatkala Ibrahim berusia 100 tahun. 
  2. Secara historis pengorbanan Ishak tak dapat dibuktikan, sebaliknya jika penegasan ‘yakni Ishak’ ditiadakan secara historis dapat dibuktikan bahwa yang dikorbankan adalah Ismail, sebab tradisi korban dilestarikan oleh keturunan Ibrahim lewat Ismail sejak jaman dahulu kala sampai sekarang dan seterusnya. Peristiwanya pun terjadi di sekitar Ka’bah dan berhubungan dengan ibadah haji yang dilestarikan oleh bangsa Arab di jazirah Arab. Dengan demikian ada keselarasan antara ayat kauniyah dengan ayat qauliyah. 
  3. Terpenuhinya janji Ilahi tentang berkat untuk segala bangsa dan juga untuk Ibrahim bukan lewat Yesus, tetapi lewat Nabi Muhammad saw., yakni lewat ucapan salam dan shalawat Nabi yang lengkap. Ini fenomena bahwa yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ismail, bukan Ishak. 
  4. Menerima Ishak sebagai anak tunggal berarti tak mengakui Ismail sebagai anak Ibrahim. Hal ini bertentangan dengan: 
  • Hukum Hammurabi yang berlaku saat itu. Menurut hukum Hammurabi, Ismail juga anak Sarah, maka Sarah dapat berkata: “Karena Tuhan tidak memberi aku anak ... engkau boleh berseketiduran dengan budakku, dan anak-anaknya akan menjadi anak-anakku”.65 
  • Tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Semit yang menganut sistem patriachalistik, silsilah seseorang mengikuti garis keturunan ayah.

Akhirnya sebagai penutup penulis tegaskan bahwa Kaidah Tafsir Bibel di atas dapat digunakan, tetapi untuk memperoleh kebenaran perhatikanlah Alquran, seperti difatwakan oleh Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi yang banyak dan lama bergaul dengan umat Kristen Ethiopia: “Apa-apa yang sesuai dengan kitab Allah (Alquran) ambillah dan apa-apa yang menyalahinya tinggalkanlah itu”.66 

Dengan memperhatikan Alquran tahulah kita bahwa penegasan “yakni Ishak” adalah suatu sisipan atau tahrif yang akibatnya merubah makna perjanjian Ilahi dengan Ibrahim tentang pemberkatan untuk segala bangsa dan juga untuk Ibrahim. Lebih detil, lihat seluruh arsip Kristianologi di sini.


CATATAN KAKI:
1. QS 2:208 2. Nico Syukur Dister, 1987:21 3. Wongso, 1988:1 4. QS 2:185 5. QS 2:41 6. QS 16:63-64 7. QS 2:208 8. Mat 5:17-19; Yoh 14:14-16; bdk QS 5:3; 33:7; 61:6 9. QS 2:136 10. QS 2:75 11. QS 2:78 12. QS 1:5-7 13. QS 5:77 14. QS 9:30 15. QS 9:29 16. QS 5:116-117 17. QS 2:217 18. QS 2:120 19. QS 9:32 20. QS 9:31 21. QS 2:109 22. QS 9:31 23. QS 18:5 24. QS 25:30 25. QS 16:125 26. QS 2:21 27. QS 7:31 28. QS 109:1 29. QS 3:64 30. QS 4:47 31. QS 62:6 32. QS 29:46 33. QS 51:8. 34. QS 49:13 35. QS 30:20 36. QS 2:22 37. QS 30:20 38. QS 10:47 39. QS 2:213 40. QS 13:7 41. QS 22:17 42. QS 49:13 43. QS 22:40 44. QS 9:6 45. QS 15:9 46. QS 75:17-19 47. QS 3:6 48. QS 50:45 49. QS 39:23 50. QS 4:82 51. QS 93:7 52. QS 56:7 53. QS 26:195 54. QS 2:90 55. QS 2:4 56. QS 2:89 57. QS 7:157 58. Herlianto, 1981:36-37 59. Kej 22:1-2 60. Kej 12:3 61. Gal 3:16 62. QS 21:85 63. Kej 22:18 64. Kej 12:3 65. Kej 16:2 66. Moenawar Chalil, 1973:181 


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar