Translate

Tasawwuf


DEFINISI DAN SEJARAH TASAWWUF


I. MAKNA TASAWWUF
 
Mistisisme dalam Islam diberi nama Tasawwuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. 

Ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw memilki tiga dimensi, yaitu:
 
  • Dimensi Iman → melahirkan ilmu Kalam (Teologi)
  • Dimensi Islam → melahirkan ilmu Fiqh/Syariat
  • Dimensi Ihsan → melahirkan ilmu Tasawwuf
 
Tasawwuf merupakan implementasi dari dimensi ihsan. Istilah tasawwuf pada masa nabi Muhammad SAW belum digunakan. Tetapi secara substansial telah dipraktekkan. Pada perkembangan selanjutnya dimensi Islam yang mengandung unsur syahadah, sholat, zakat, puasa dan haji melahirkan ilmu fiqh/syariat. Dari dimensi iman yang mengandung unsur iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan taqdir-Nya melahirkan ilmu kalam (teologi). Dimensi ihsan melahirkan ilmu tasawwuf. 

Dalam kitab istilahat as-shufiyyah disebutkan bahwa bertasawwuf adalah Takholluq bi al-Akhlaqi al- ilaahiyyah. Ini mengiudentifikasikan bahwa bertasawwuf adalah usaha manusia untuk mencapai akhlak mulia yaitu akhlak Tuhan, sehingga dapat kita tarik pengertian bahwa Tasawwuf adalah medium yang ditempuh oleh seorang mukmin melalui serangkaian proses upaya dalam rangka menghakikatkan syariat lewat tharikat guna mencapai makrifat. Pernyataan ini didasari pada firman Allah yang tertuang dalam Al-Quran,

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan carilah wasilah yang menyampaikan kamu kepadanya dan berjuanglah dijalanya, agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:35)

Namun secara definitive pengertian Tasawwuf dapat dipetik dari dua sisi yaitu secara etimologis dan terminology.

A. Pengertian Tasawwuf Secara Etimologi
Secara etimologi, kata Tasawwuf berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda pendapat tentang darimana asal-usulnya. Ada yang mengatakan dari kata shuf (bulu domba), Shaff (barisan), Shafa (jernih), Shuffah (serambi masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat Rasulullah SAW). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatar belakangi oleh fenomena yang ada pada diri para sufi. Secara etimologi, pengertian Tasawwuf dapat dimaknai menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
  1. Tasawwuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahl ash-shuffah yang berarti sekelompok orang di masa Rasulullah yang banyak berdiam diserambi-serambi masjd dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang ikut pindah bersama Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah, meninggalkan harta-benda, berada dalam keadaan miskin, dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di masjid Rasulullah dan duduk di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut shuffah dan kata sofa dalam bahasa-bahasa di Eropa berasal dari kata ini.
  2. Tasawwuf berasal dari kata shafa’ yang artinya suci. Kata shafa’ ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah yang berarti sebagai nama bagi orang-orang yang bersih atau yang suci. Jadi, maksudnya adalah – mereka itu menyucikan dirinya di hadapan Tuhan melalui latihan yang berat dan lama.
  3. Tasaawuf berasal dari kata shaff. Makna shaff ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaff (barisan) terdepan. Sebagaimana halnya shalat di shaff pertama mendapat kemuliaan dan pahala, maka orang-orang penganut Tasawwuf dimuliakan dan mendapat pahala dari Allah.
  4. Ada yang menisbahkan Tasawwuf berasal dari Bahasa Yunani, yaitu shopos. Isitlah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah yang berarti kebijaksanaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Mirkas, kemudian diikuti oleh Jurji Zaidan dalam kitabnya, Adab Al-Lughah Al-Arabiyyah. Disebutkan bahwa para filsuf Yunani dahulu telah memasukkan pemikiranya yang mengandung kebijaksanaan di dalam buku-buku filsafat. Ia berpendapat bahwa istilah Tasawwuf tidak ditemukan dalam masa penerjemahan kitab-kitab yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Pendapat ini kemudian didukung juga oleh Nouldik, yang mengatakan bahwa dalam penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab terjadi proses asimilasi. Misalnya, orang Arab mentranslitrasikan huruf sin menjadi huruf shad seperti dalam kata Tasawwuf menjadi Tashawuf.
  5. Tasawwuf berasal dari kata shuf. Artinya ialah kain yang terbuat dari bulu wol. Namun, kain wol yang dipakai adalah wol kasar, bukan wol halus – sebagaimana kain wol sekarang. Memakai wol kasar pada waktu ini adalah simbol kesederhanaan. Lawanya adalah memakai sutra. Kain itu dipakai oleh orang orang mewah di kalangan pemerintahan yang hidupnya mewah. Para penganut Tasawwuf ini hidupnya sederhana, tetapi berhati mulia, menjauhi pakaian sutra, dan memakai wol kasar. 
Dari kelima teori di atas yang paling banyak disepakati oleh para alim ulama adalah teori ke-lima, yaitu teori yang mengatakan bahwa kata Tasawwuf berasal dari kata shuf yang artinya kain yang terbuat dari bulu wol. Pendapat ini sesuai dengan ilmuan orientalis – J Spencer Trimingham – dalam bukunya yang berjudul The Sufi Orders in Islam. Ia berpendapat bahwa term sufi pertama kalinya diterapkan pada asketik muslim yang berpakaian wol kasar. Dari kata shuf lahir kata Tasawwuf yang artinya mistisisme. Sedangkan dari segi bahasa, seperti yang telah dijelaskan dalam beberapa teori di atas, pada intinya Tasawwuf adalah gambaran keadaan yang selalu berorientasi pada kesederhanaan, kedekatan kepada Allah, penyucian hati, dan sikap rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia.

B. Pengertian Tasawwuf Secara Terminologi
Dalam memahami suatu istilah demi mendapatkan pengertian yang baik pastilah kita merujuk kepada ahlinya, namun permasalahanya adalah setiap ilmuan memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam merumuskan istilah Tasawwuf. Adapun pendapat mereka antara lain.
  1. Ma’ruf Al-Karkhi (W200H), "Tasawwuf menekankan hal-hal yang hakiki dan mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk. Barangsiapa yang belum bersungguh-sungguh dengan kefakiran, berarti belum bersungguh-sungguh dalam bertasawwuf."
  2. Abu Hamzah, "Tanda sufi yang benar adalah berpikir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegah-megah, dan menyembunyikan diri setelah dia terkenal. Sementara itu, tanda sufi yang palsu adalah kaya setelah dia berpikir, bermegah-megah setelah dia merendahkan diri, dan tersohor setelah dia bersembunyi." 
  3. Al-Junaidi. "Tasawwuf ialah membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan, berjuang menanggalkan pengaruh insting, memadamkan kelemahan, menjauhi seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kesucian rohani, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan lebih kekal, menaburkan nasihat kepada umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, serta mengikuti contoh Rasulullah SAW dalam hal syariat."
  4. Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain bin Musthafa Al-Fathani, "Para sufi memakai pakaian yang terbuat dari bulu. Mereka tidak mau menyerupai kebanyakan orang yang selalu bermegah-megah deangan pakaian yang serba indah. Mereka merasa cukup dengan berpakaian seperti itu, karena sekedar menutup aurat."
  5. Syaikh Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At-Tustari, "Sufi ialah orang yang bersih dari kotoran, penuh pemikiran, dan hanya memusatkan semata-mata hanya kepada Allah. Baginya, antara harta benda dan tanah liat bernilai sama."
  6. Ibnu Khaldun, "Tasawwuf semacam ilmu syariat yang timbul kemudian didalam agama. Asalnya adalah tekun beribadah, memutuskan pertalian terhadap segala sesuatu kecuali Allah, hanya menghadap-Nya, dan menolak perhiasan dunia. Selain itu, membenci perkara yang selalu memperdaya orang banyak, sekaligus menjauhi kelezatan harta, dan kemegahannya. Tambahan pula Tasawwuf juga berarti menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalawat dan ibadah."
  7. Syaikh Ahmad Zarruq, "Tasawwuf ialah ilmu yang dapat memperbaiki hati anda dan menjadikanya demikian karena Allah. Dengan hati itu, Anda menggunakan fiqh dalam berislam untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam sehingga lahirlah kebijaksanaan."
  8. Syaikh Ibnu Ajiba, "Tasawwuf ialah ilmu yang membawa anda agar bersama Tuhan yang Mahaada, melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal shaleh. Jalan Tasawwuf diawali dengan ilmu, tengahnya amal, dan akhirnya adalah karunia Ilahi."
  9. Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari, "Tasawwuf ialah ilmu yang menerangkan cara-cara mencuci bersih jiwa, memperbaiki akhlak, dan membina kesejahteraan lahir serta batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi."
  10. Syaikh Husain Nasr, "Tasawwuf ialah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi dan mendekatkanya kepada Allah sehingga jiwanya bersih serta memancarkan akhlak mulia. Tasawwuf secara hakiki mengingatkan manusia siapa dia sebenarnya. Artinya manusia dibangunkan dari mimpinya yang disebut dengan kehidupan sehari-hari dan jiwanya yang memiliki timbangan objektif itu bebas dari pembatasan penjara khayali ego."
  11. Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, "Tasawwuf ialah sebuah pandangan filosofis terhadap kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia dan dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis tertentu, sehinga perasaan menjadi larut dalam hakikat transendental. Pendekatan yang digunakan adalah dzauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman yang muncul pun tidak kuasa diekspresikan melalui bahasa biasa, karena begitu emosional dan personal."
  12. H. M Amin Syukur, "Tasawwuf ialah sistem latihan dengan kesungguhan (riyadha mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendapatkan diri kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepada-Nya."
  13. Drs. Samsul Munir Amin, "Tasawwuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan shingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupanya, dan menemukan kebahagiaan spiritualitasnya."

II. IRFAN SECARA ETIMOLOGIS 
 
(kata) Irfan berasal dari kata ‘arafa' yang berarti mengetahui atau mengenal, yang dalam konteks ini bermakna pengetahuan atau pengenalan tentang Allah SWT. Orang yang mengetahui atau mengenal disebut ‘arif' bukan alim. Sebutan Irfan dalam istilah Tasawwuf mempunyai kemiripan dengan literatur ahl bait. Kosakata Irfan ini sesuai dengan hadist di kalangan sufi yang berbunyi “man ‘arofa nafsahuarafa Robbahu” siapa yang mngenal dirinya, ia mengenal Tuhannya. Setelah itu firman Allah menyebutkan "fadakholu alaihi fa’araofahum“ lalu mereka saudara-saudara Yusuf masuk ke tempatnya, maka Yusuf mengenal mereka”. (QS. Yusuf: 12:58)

Ma’rifah Allah menurut Syihab al-Din Umar Suhrawardi (W632H/1234M) bergantung dan berhubungan dengan mengenal diri-Nya (marifat al-nafs) mengenal Allah berarti mengenal sifat-sifatnya dalam bentuk keadaan secara rinci, berbagai kejadian, dan musibah, yang kemudian mengantarkan pada pengetahuan yang hakiki bahwa Dia adalah wujud hakiki dan pelaku mutlak.

Irfan, sebagai disiplin ilmu pada awalnya dikembangkan oleh Muhyi al-Din Ibn Arabi (560-638H/ 1165-1240M) meskipun ia memilki kesaman dengan Irfan/Tasawwuf al-Syibli. Irfan Ibn Arabi ini memiliki ciri khas yang lebih bersifat teoritis yang dituangkan dalam karya-karyanya dan disebarkan oleh muridnya. Dalam Sejarah Pemikiran Islam, suatu aliran pemikiran mistik telah berkembang, tetapi masih berpijak pada penggunaan akal budi sebagai fakultas paling handal untuk mencapai kebenaran. 

Aliran pemikiran ini merupakan perkembangan dari pemikiran Irfani Muhyi al-Din ibn Arabi, yang dikembangkan Mulla Sadra (W1050 H/1640M). Aliran pemikiran ini merupakan perkembangan dari tradisi Aristotelian Cum Neopltonis yang dikembangkan al-Farabi (872-950M) dan Ibn Sina (980-1037M), filsafat Illuminasi (isyraqiyyah) al-Suhrawardi (W587H/1192M), pemikiran mistikal atau Irfani ibn Arabi, serta tradisi klasik kalam (teologi dialektis). Aliran pemikiran ini disebut al-Hikmah al-Muta’aliyyah (teosofi dialektis). 

Sebagai salahsatu disiplin ilmu, menurut Murtadha Muthahari (1919-1979 M) dalam bukunya "Introduction to Irfan", Irfan mempunyai dua sisi, yaitu Irfan praktis (amali) dan teoritis (ilmi). Aspek praktis Irfan melukiskan dan menjelaskan hubungan dan tanggungjawab manusia terhadap dirinya, alam semesta, dan Tuhan. Ajaran Irfan ini disebut juga sayr wa suluk (pengembaraan dan perjalanan spiritual). Pengembara spiritual ini disebut "salik", seorang yang melakukan perjalanan spiritual menuju Tuhan. Puncak perjalanan spiritual itu adalah Tauhid. 

Bagi seorang arif (yang meniti jalan Irfan), tauhid merupakan pengetahuan haikiki, bahwa segala sesuatu selain Tuhan, hanyalah hal semu semata, bukan realita (al-Wujud al-Hakiki). Tauhid seorang arif berarti meyakini bahwa selain Tuhan tidak ada. Jadi, secara praktis jalan Irfani ialah melakukan pengembaraan spiritual dari maqam (kedudukan rohaniah) ke maqam lainnya hingga sampai kepada tahap spiritual yang tidak lagi melihat sesuatu selain Allah SWT. Seorang arif tidak memandang pencapaian maqam Tauhid sebagai tugas akal, melainkan tugas hati. Ia berjuang keras dalam melakukan sayr wa suluk yang telah disebutkan di atas. 

Jadi, untuk mencapai ke jenjang tertinggi Irfan amali haruslah melakukan riyadah (latihan diri secara ragawi maupun ruhani). Irfan teoritis berkaitan dengan ontology (ilm al-Wujud), ia membicarakan tentang hakikiat wujud Tuhan, alam semesta dan manusia. Menurut Murtadha Muthahhari, aspek Irfan ini menyerupai filsafat teologis. Hanya saja, bila filsafat teologis menyandangkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, Irfan mendasarkan deduksinya melalui pengalaman spiritual (kasyf), dan menerjemahkannya dalam bahasa rasio. Irfan ilmi ini merupakan gabungan dari filsafat dan spiritual yang menurut Mulla Sadra, gabungan kedua aspek itu disebut al-Hikmah Muta’aliyah, dan Suhrawardi menyebutnya dengan Hikmah Isyraqiyyah

Menurut Muthahhari, Irfan lebih dinamis dari Tasawwuf, karena Tasawwuf lebih menekankan pada pembahasan jiwa internal manusia untuk ber-tahalli (menghiasi diri) dan ber-tajalli (penampakan) dengan Asma'ul Husna  (Nama-Nama Allah). Tatapi Irfan, menurutnya, tidak hanya membahas tentang jiwa internal manusia, tapi juga mengajak manusia berjalan untuk keluar dari alamnya menuju alam Tuhan, dan perjalan ini disebut Safar. Mulla Sadra termasuk salahsatu filosof yang sangat mendetail menerangkan sisi aktif dari ajaran Irfani dalam karyanya al-Hikmah al-Muta’aliyah. Atas dasar ini terlilhat bahwa Irfan secara menyeluruh lebih dinamis dari Tasawwuf. Tasawwuf lebih identik dengan Irfan amali. Meski demikian, bila dikaji secara kritis dan lebih mendalam pasti akan ditemui perbedaan-perbedaan. Karena keaktifan dari ajaran Irfan ini, Syaikh Irfan dikenal dengan sebutan al-Tayr al-Qudsi (burung yang suci). 

III. SEJARAH TASSAWUF
 
Ketika membicarakan tentang sejarah Tasawwuf, kiranya perlu dipertimbangkan asal-usulnya, supaya kita mengetahui apakah itu merupakan produk Islam ataukah ada pengaruhnya dari ajaran-ajaran lain. Oleh karena itu pemaparan ini membaginya dalam dua bahasan, yakni sejarah munculnya dan sejarah perkembangannya.

1. Sejarah Munculnya Tasawwuf
Harun Nasution menjelaskan timbulnya aliran taswuf dalam beberapa versi:

(a). Pengaruh Kristen
Terlihat dalam ajarannya menjauhi dunia dan mengasingkan dari dalam biara-biara. Hal itu dapat terlihat dalam literatur Arab yang di dalamnya terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mnegesingkan diri atas pengaruh rahib-rahib Kristen.

(b). Filsafat Mistik Phytagoras
Ajaran Phytagoras yang mengatkaan bahwa untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninnggalkan hidup materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontemplasi, menut sebagian orang telah mempengaruhi timbulnya zuhud dansufusme dalam Islam.

(c). Filsafat Emanasi Plotinus
Dalam emanasi mengatakan bahwa wujud memancar dari zat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan kembali ke Tuhan. Tetapi ketika masuk ke alam materi, rohmenjadi kotor sehingga harus dibersihkan. Untuk itulah perlu adanya penyucian roh dengan meninggalkan dunia dan menedekati Tuhan sedekat mungkin, hingga bersatu dengan Tuhan. Filsafat ini juga berpengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.

(d). Ajaran Budha
Dalam ajaran Budha terdapat konsep Nirwana, dimana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fana dalam sufisme hampir serupa dengan paham Nirwana. Kesamaan antara paham Nirwana dan fana ini hanya bersifat semu. Karena menurut sang Budha, dalam keadaan fana jiwa-jiwa seakan-akan kehilangan individualitasnya dalam ketentraman dan kedamaian mutlak; sementara menurut sufi meskipun menyatakan ihwal sirnanya individualitas, namun hakekat kekalnya kehidupan hanya karena kontemplasi intuitif terhdap keindahan ilahiyah.

(e). Ajaran Hindu
Terlihat dalam ajaran Hindu yang mendorong manusia untuk mneinggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mnecapai persatuan Atman dan Brahman. Selain itu dalamsystem keprcayaan agama Hindu, terdapat persamaan-persamaan ajaran sebagaimana dalam Tasawwuf, seperti sikap fakir, kesamaan cara ibadah, dan mujahadah. Begitu juga dengan reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain) versi Hindu dan Budha dengan persatuan diri mengingat Allah. ~ Sumber

Dr. Abu al-Wafa mengutip beberapa pendapat orientalis dan mengelompokkannya dari sudut historis sebagai berikut:

(a). Bersumber dari Persia
Thoulk mengatakna bahwa Tasawwuf bersumber dari majusi, dengan alasan orang-orang Majusi di Iran Utara, setelah penaklukan Islam, tetap memeluk agama mereka dan banyak sufi berasal dari sebelah utara Khurasan. Selain itu sebagian pendiri aliran sufi angkatan pertama berasal dari kelompok orang-orang majusi.

(b). Bersumber dari Kristen
Alasan yang hampir sama dengan Harun Nasution, ditambah lagi dengan adanya interaksi orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliyah maupun masa Islam. Tokoh yang berpendapat adalah Von Kramer, Ignaz Goldziher, R.A Nicholson, Asin Palacious, dan O’leary.

(c). Bersumber dari India (Hindu-Budha) 
Menurut Max Horten, ada beberapa teori Tasawwuf dan bentuk praktik rohaniah yang serupa dengan mistisisme India, terutama al-Hallaj, al-Bushthami, dan al-Junaid. Hartmann juga menambahkan bukti bahwa Tasawwuf berasal dari India. 
 
  • Kebanyakan angkatan pertama sufi bukan berasal dari Arab, seperti ibrahim ibn Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya bin Ma’az ar-Razi.
  • Kemunculan dan penyebaran Tasawwuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan
  • Pada masa sebelum Islam, Turkhistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur Barat. Ketika para penduduk kawasan memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
  • Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
  • Asketisme Islam pertama adalah bercorak India, baik dalam kecendrungan maupun metode-metodenya. 
 
Menurut Annemarie Schimmel, persoalan pegaruh menjadi semakin sulit ketika dihubungkan dengan tradisi-tradisi agama di luar dunia Timur Dekat. Banyak sarjana dahulu dan sekarang masih cendrung menerima adanya pengaruh India dalam terbentuknya Tasawwuf, seperti Alfred von Kremer (1868) Reinhard P. Dozy (1869). Namun ada pula yang menolak pendapatnya, seprti Qomar Kailani. Menurutnya, kalau ajaran Tasawwuf berasal dari agama Budha, berarti pada zaman Rasulullah telah berkembang ajaran dua agama tersebut. Sulit diterima bahwa ajaran Tasawwuf berasal dari pengaruh Hindu dan Budha, kerena sesungguhnya amalan Tasawwuf telah ada pada masa awal-awal kelahiran agama Islam. Adapun kesamaan ajaran yang boleh jadi sama di dalam ajaran agama Hindu dan Budha dengan Tasawwuf memang bisa saja terjadi.

  • Bersumber dari Yunani
 
Para orientalis lebih menaruh perhatian terhadap Tasawwuf yang ditimba dari sumber Yunani, yakni Tasawwuf Teosofis, suatu jenis Tasawwuf yang muncul padda abad ke-3 Hijriah lewat Dzun nun al-Mishri (W245H)

2. Sejarah Perkembangan Tasawwuf
Tasawwuf adalah bagian dari syariat Islam, yakni perwujudan dari ihsan. Ia merupakan salahsatu dari tiga kerangka ajaran Islam lain, yakni Iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun kerangka Tasawwuf harus tetap berada dalam kerangka syariat. Lahirnya Tasawwuf sebagai fenomena ajaran Islam diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cendrung formalism dan legalisme. Selain itu Tasawwuf hadir sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan sosial, politik, budi pekerti, dan ekonomi yang dilakukan oleh penguasa. Faktor internal lainnya adalah reaksi kaum muslim terhadap sistem sosial, politik, budaya, dan ekonomi di kalangan Islam sendiri. Ditambah lagi dengan adanya al-Fitnah al-Kubro yang menimpa khalifah Ustman bin Affan hingga menyebabkan perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah. Akibatnya sebagian tokoh agama mengambil jalan lain dari kehidupan politik. Dari sinilah kehidupan Tasawwuf di kalangan umat Islam teus berkembang dengan pesat.

Pada abad 1 Hijriah, hanya terdapat dua macam tarikat, yakni pertama, tariqoh al-Nabawiyah yang beirisi amalan-amalan atau ajaran Islam yang berlaku pada masa Rasulullah SAW dan dilaksanakan secara murni. Kedua, tariqoh al-salafiyyah yaitu metode beramal dan beribadah pada masa sahabat dan tabiin untuk melestarikan ajaran-ajaran Rasulullah SAW. 

Masa itu para sahabat menjauhi kehidupan dunia dan selalu puasa, sholat sunnah, dan membaca Al-Quran. Seperti Abd Allah, ibn Umar, dan Abu al-Darda, Abu Dzar al-Ghifari dll. Pada abad ke-2 Hijriah muncullah tariqoh as-Sufiyyah yang diamalkan oleh para sufi dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah. Tampaknya secara historis kemunculan Tasawwuf memiliki hubungan yang signifikan antara pola hidup sufistik dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat Islam. Munculnya gerakan hidup zuhud dan uzlah yang dipelopori Hasan al-Basri (110H) dan Ibrahim Ibn Adham (159H) merupakan reaksi terhadap pola hidup hedonistic dan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran/syariat Islam yang dipraktekkan oleh para pejabat Bani Umayyah (661-750M). 

Misalnya, Yazid ibn Muawwiyah (680-683M) dikenal sebagai orang yang suka mabuk-mabukan, sombong, pemboros, dan tidak taat terhadap ajaran-ajaran agama Islam. Perkembangan Tasawwuf falsafi yang dikembangkan al-Hallaj (309H) dan Ibn Arabi (637H), tampaknya tidak bisa terlepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam yang cenderung tersilaukan olah pola hidup rasional. Hal ini merupakan pengaruh perkembangnan filsafat seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, dll. 

Demikian pula halnya dengan gerakan ahl-Sunnah yang dipelopori oleh al-Qusyayri, al-Ghazali, dll, tidak terlepas dari dinamika masyarakat Islam pada masa itu. Ada kecendrungan sebagai ahli sufi menjauhi syariat, dan tenggelam dalam keasyikan kontemplasi sehingga antitesanya muncul gerakan kembali ke syariat Islam di samping menjalankan Tasawwuf. Adapun tarikat sebagai gerakan populis atau masal yang merupakan bentuk organisasi Tasawwuf, tampaknya muncul disebabkan oleh tuntutan sejarah pada waktu itu. Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Negara-negara Islam, seperti Palestina, Syiria, dan Mesir sedang menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa yang terkenal dengan Perang Salib (490-656H/1096-1258M). Wilayah dunia Islam lain seperti Samarkand, Khurasan, Khawarizm, dan Naisabur menghadapi serangan Mongol (1220-1260M) yang haus kekuasaan dan penuh kekerasan, melahab setiap wilayah yang dijarahnya dan mengahancurkannya. Demikian juga di Baghdad—sebagai pusat kekuasaan dan peradaban Islam—dan menjadikan situasi politik tidak menentu. Di mana-mana terjadi perebutan kekuasaan di antara para amir. Walaupun khalifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasanya adalah para Amir dan Sultan. Keadaan ini diperparah oleh Hulagu Khan yang memporak-porandakan pusat peradaban umat Islam (1258M).

Ketidakstabilan situasi politik dan krisis kekuasaan serta disintegrasi ini membawa dampak negatif bagi umat Islam. Mereka mengalami masa disintegrasi sosial yang sangat parah, pertentangan antar golongan sering terjadi, seperti di antaranya antara golongan Sunni dengan Syiah, golongan Turki dengan golongan Arab dan Persia dll. Akibatnya kehidupan sosial merosot, keamanan umum terganggu, dan kehancuran melanda di mana-mana. Dalam situasi seperti itu wajar jika sebagian umat Islam berusaha menentramkan jiwa, menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim, serta menjauhi kelezatan duniawi dan memilih kehidupan akhirat. 

Dari sini muncul satu gerakan yang dinamakan dengan al-Zuhd yang merupakan cikal-bakal dari Tasawwuf. Kahidupan zuhud mulai tampak di kota Kuffah dan Basrah, Iraq, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain seperti Khurasan di Persia. Dan seperti telah disebutkan di atas, bahwa salah satu zahid Basroh yang terkenal adalah Hasanal Bisri (W110H). 

Menurutnya Hasanal Bisri, dunia ibarat ular yang lembut sentuhannya tetapi bisanya sangat mematikan. Untuk itu, ia menasehati sahabatnya untuk menghindari dunia. Dia senantiasas bersedih hati karena takut tidak dapat melakukan perintah Allah SWT sepenuhnya, sehingga ia merasa takut kepada Allah (al-Khawf). Menurutnya hari Kiamat akan tiba dan perhitungan amal (al-Hisab) akan segera terjadi dan seakan ia merasa siksa Allah SWT diciptakan untuknya.

Di kota Basrah muncul nama legendaris perempuan, seorang zahidah yang terkenal, yakni Rabiah al-Adawiyyah (W135H) yang membawa konsep cinta sebagai jalan menuju Tuhan. Selanjutnya di kota Kuffah muncul Sofyan al-Tsauri (W135H), Abu Hasyim (W150H), Jabr ibn Hayyan (W160H). Di Madinah muncul Ja’far Shodiq (W148H) kemudian menyebar ke berbagai kota di Persia, Khusaran seperti Ibrahim Ibn Adham (W162H) Syakiq al-Balkhi (W194H). Selanjutnya dari Mesir Zul al-Nun al-Misri (W245H) yang menerapkan konsep tentang mengenal Allah ma'rifat bil Allah. Ia dipandang oleh R.A. Nicholson, sebagai “Bapak Ma’rifat” dalam Tasawwuf (the father of moslim’s theosophy) yang pertama membedakan al-Marifah dan al-Ilm, antara Marifah orang awam, ulama zahir dan ulma sufi.

Pada abad ke-3 Hijriah boleh dikatakan ilmu Tasawwuf sudah tersusun sebagai jalan mengenal Allah (al-Ma'rifah) yang sebelumnya hanya dikenal sebagai jalan ibadah semata. Muncul tokoh-tokoh besar, seperti Abu Yazid al-Busthomi (W261H) sebagai tokoh sufi yang melahirkan konsep fana dan baqo’ serta ittihad. Abu al-Qosim al-Junayd al-Baghdadi (W297H) yang meletakkan dasar-dasar ilmu Tasawwuf dan tarikat, cara belajar dan mengajar murid, sehingga ia dikenal dengan gelar “Abu al-Tasawwuf al-Islami", Imam al-Toriqoh al-Qowmiyyah atau Syaikh al-Tayfah (ketua rombongan suci). Kemudian disusul al-Hallaj (W309H), yang berpendapat bahwa manusia memilki sifat-sifat kemanusiaan (nasut) dan ketuhanan (lahut). Ketika hati manusia sudah bersih dan suci tanpa sedikit kotoran, maka Tuhan akan mengambil tempat pada diri manusia tersebut (hulul), sehingga akhirnya keduanya menyatu. Ketika dalam kondisi itulah ia menyatakan “ Akulah Kebenaran (Tuhan) itu”, dengan istilah yang masyhur,  “Ana al-Haq”. Pada akhirnya ia dihukum pancung oleh penguasa Abbasiyah di Baghdad pada 29 Dzulqoidah 309 Hijriah.

Dengan adanya kejadian atau ungkapan ganjil (syatohat) itulah maka Tasawwuf pada abad ke-3 Hijriah dianggap telah menyimpang dan sesat dari prinsip keimanan yang lurus (zindiq). Akhirnya beberapa penulis sufi berusaha mengembalikan citranya dengan bahasa yang sederhana dan dapat diapahami masyarakat awam, menjelaskan bahwa sesungguhnya Tasawwuf tidak bertentangan dengan syariat Islam. Di antara mereka adalah: 
  1. Abu Masr al-Sarraj al-Thusi (W379H) dengan kitabnya al-Luma fi al-tasawwuf
  2. Abu Bakar al-Kalabadzi (W380H) dengan kitab al-Ta’aruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf, 
  3. Al-Ghazali (W505H) dengan kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din, 
  4. Abd Karim al-Qusyayri (W546H) dengan kitabnya ar-Risalah al-Qusyayriyyah,
Dari sekian banyak penulis di atas, al-Ghazali lah yang terlihat berhasil dengan gagasan-gagasannya mengemukakan hakikat Tasawwuf yang diintegrasikan dengan syariat Islam dalam bentuk tulisan yang sistematis. Ia mendapat gelar Hujjah al-Islam.

3. Periodisasi Perkembangan Tasawwuf
Amin Syukur dalam karyanya “Menggugat Tasawwuf” membagi periodisasi sejarah perkembangan Tasawwuf menjadi lima masa, yakni periode pembentukan, periode pengembangan, periode konsolidasi, periode falsafi, periode pemurnian.

(a). Periode Pembentukan
Pada abad pertama Hijriah, Hasan Bashri dengan ajaran Khauf, mempertebal takut kepada Allah, mengadakan pergerakan memperbaharui hidup kerohanian di kalangan kaum muslim. Pada masa ini mulai tampil guru-guru (qori’) yang mengadakan gerak pembaharuan hidup kerohanian di kalangan kaum muslim. Bibit Tasawwuf pun sudah terlihat, garis-garis mengenai thariq atau jalan beribadah sudah mulai disusun. Dalam ajaran-ajarannya sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’), menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), dan mencela dunia (dzamm ad-Dunya), seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Kemudian pada akhir tahun ke-2 Hijriah, Hasan al-Bashri diikuti oleh Rabbiah al-Adawiyyah (W185H) sufi wanita yang terkenal dengan ajaran mahabbah. Pada abad ke-2 Hijriah Tasawwuf tidak berbeda dari abad sebelumnya, yakni sama dalam corak ke zuhudan meskipun penyebabnya berbeda. Adapun penyebabnya adalah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dalam melaksanakan syariat agama (lebih bersikap fiqh). Abu al-Wafa menyimpulkan Islam pada abad pertama dan kedua Hijriah memiliki karakter sebagai berikut:
  • Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama, yang dilatar belakangi oleh sosial-politik. Coraknya bersifat sederhana, praktis, bertujuan meningkatkan moral yang masih bersifat praktis, para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Ciri lain motif zuhudnya ialah rasa takut. Sementara akhir abad kedua Hijriah, di tangan Rabiah al-Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rarsa takut terhadap adzab-Nya dan harap akan pahala-Nya.
  • Menjelang akhir abad ke-2 Hijriah, sebagian zahid –khususnya di Khurasan dan Rabiah al-Adawiyah– menandai kedalaman analisis yang dipandang sebagai fase pendahuluan Tasawwuf atau cikal bakal para pendiri Tasawwuf falsafi abad ketiga dan keempat Hiriah. Abu al-Wafa lebih sependapat bahwa mereka dianamakan zahid, qori, dan nasik (bukan sufi)

(b). Periode Pengembangan
Tasawwuf abad ketiga dan keempat Hijriah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan sebelumnya. Pada abad ini Tasawwuf sudah bercorak ke-fana-an yang menjurus ke persatuan (hamba dengan Tuhan). Pada abad ini orang sudah membicarakan:
 
  • Lenyap dalam kecintaan (Fana fi al-Mahbub)
  • Bersatu dengan kecintaan (Ittihad bi al-mahbub)
  • Kekal dengan Tuhan, melihat Tuhan (Musyahadah)
  • Bertemu dengan-Nya (liqo)
  • Menjadi satu dengan-Nya (Ainu al-Jama’)
 
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Yazid al-Busthami (261H) dengan ungkapan ‘Ana al-Haq’ atau hulul sebagaimana yang dikemukakan al-Hallaj. Busthami adalah orang pertama yang menggunakan istilah fana (lebur atau hancur perasaan) hingga ia disebut sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini. Disini juga al-Junaedi al-Baghdadi meletakkan dasar-dasar ajaran Tasawwuf. Dapat disimpulkan bhawa Tasawwuf abad ketiga dan keempat Hijriah sudah sedemikian berkembangnya, sehingga sudah merupakan mazhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri. Al-Wafa menegaskan bahwa Tasawwuf pada periode ini lebih mengarah kepada ciri psikomoral dan perhatiannya diarahkan pada moral serta tingkah laku. Ia juga menyimpulkan bahwa Tasawwuf pada abad ketiga dan keempat memiliki dua aliran:
 

Tasawwuf salafi, yaitu bentuk Tasawwuf yang memagari dirinya dengan Al-Quran dan hadist, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka keapada dua sumber tersebut.

Tasawwuf semi falsafi, di mana pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan atau hulul.

(c). Periode Konsolidasi
Masa ini terjadi pada abad kelima Hijriah. Pada masa ini ditandai adanya kompetisi dan pertarungan antara “ Tasawwuf semi falsafi” dan “Tasawwuf sunni”. Pertarungan dimenangkan Tasawwuf sunni dan berkembang pesat, sedang tasawwuf semi falsafi tenggelam dan hilang serta muncul kembali pada abad keenam Hijriahdalam bentuk yang berbeda. Kemenangan Tasawwuf sunni dalam catatan sejarah dikarekana aliran teologi ahl sunnah wal jamaah yang dipelopori Abu Hasan Al-Asy’ary (W324) yang mengkritik teori Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syathahiyah yang tampaknya bertentangan dengan kaidah dan akibat Islam.

(d). Periode Falsafi
Tasawwuf filosofis muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriah. Meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Ciri Tasawwuf pada abad ini adalah Tasawwuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi, dan pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan Tasawwuf. Ibn Khaldun dalam bukunya, Muqoddimah, menyimpulkan bahwa Tasawwuf falsasai memempunyai empat objek utama yang menurut Abu al-Wafa dapat dijadikan karakter sufi falsafi, yakni:
 
  • Latihan rohaniah dengan asa, intuisi, serta introspeksi yang timbul darinya.
  • Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam Ghaib.
  • Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh dalam berbagai bentuk  kekeramatan atau keluarbiasaan
  • Pemakaian ungkapan-ungkapan yang sepintas sama-sama (syathotiyah).
Tokoh-tokohnya adalah Suhrawardi al-Maqtul dengan teori Isyraqiyah, Ibn Arabi dengan teori wahdah al-wujud, Ibnu Sabi’in dengan teori Ittihat, ibn Faridl dengan teori cinta, fana dan wahdah asy-syuhud. 

Oleh karena itu Tasawwuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan Tasawwuf dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat, dan karenanya diistilahkan dengan Tasawwuf Falsafi

(e). Periode Pemurnian
Pada masa ini juga terlihat adanya tanda-tanda keruntuhan dan penyelewengan serta skandal melanda, akibatnya ancaman terhadap reputasi Tasawwuf tidak dapat dielakkan lagi. Tasawwuf pada masa ini ditandai dengan bid’ah, khuarafat, mengabaikan syariat dan hukum-hukum moral, penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, dll. Dalam kondisi demikian muncullah ibnu Taymiyyah yang dengan tegas menyerang penyelewengan para sufi. Kepercayaan yang menyimpang tersebut diluruskan, seperti kepaercayaan keapda wali, khuarafat, dan bentuk-bentuk bidah pada umumnya. Ia berpendapat bahwa wali (kekasih Allah) adalah orang yang berprilaku baik (shalih), konsisiten dengan syariat Islamiyah.


[Sumber: wattpad]
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar