وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ اِلَّا رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ
"Dan tiadalah Kami mengutusmu (wahai Muhammad),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."
(QS. Al Anbiya: 107)
Rahmat dalam Islam adalah rahmat yang sesuai dengan kehendak Allah dan ajaran-Nya, baik berupa perintah atau larangan-Nya.
Secara etimologis, Islam berarti patuh, tunduk, selamat, damai dan sejahtera. Sedangkan secara terminologi, Islam berarti tunduk, patuh dan berserah diri dengan sepenuh hati kepada Allah swt dengan mengakui kebesaran dan keagungan-Nya disamping melakukan suruhan dan meninggalkan larangan-Nya. Selain itu, Islam juga sebagai aturan dan cara hidup yang lengkap meliputi segala aspek kehidupan.
Secara etimologis, Islam berarti patuh, tunduk, selamat, damai dan sejahtera. Sedangkan secara terminologi, Islam berarti tunduk, patuh dan berserah diri dengan sepenuh hati kepada Allah swt dengan mengakui kebesaran dan keagungan-Nya disamping melakukan suruhan dan meninggalkan larangan-Nya. Selain itu, Islam juga sebagai aturan dan cara hidup yang lengkap meliputi segala aspek kehidupan.
Sedangkan rahmatan lil `alamin berarti alam semesta yang mencakup bumi beserta isinya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil’alamin adalah agama Islam yang kehadirannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia adalah untuk mewujudkan kedamaian dan belas kasih antar manusia dan seisi alam semesta.
Pemahaman Keliru
Memang benar agama islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Namun banyak orang yang salah kaprah dalam menafsirkannya. Sehingga banyak kesalahan dalam memahami praktek beragama bahkan dalam hal yang fundamental yaitu akidah. Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal, atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya.
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar.
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam kan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”.
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”
Dengan menggunakan ayat ini, ada juga sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Tafsir Ayat Menurut Para Mufassir
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim berkata: “Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran. Pertama, Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Kedua, Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya."
Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir berkata: “Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat. ”
Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari berkata: “Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir."
Pendapat ahli tafsir lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah.
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir di atas, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat tersebut adalah:
- Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
- Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’alakepada makhluk-Nya.
- Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
- Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, Yaitu terjaga jiwa dan harta mereka.
- Orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallamberupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu seperti ditenggelamkan kedalam perut bumi, diubah menjadi binatang dan yang lainnya.
- Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapatrahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Jawaban Untuk Pemahaman Yang Keliru
Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir.
Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran RasulullahShallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui kapan dan dimana saja. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang bahkan tidak boleh disakiti.
Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah Ta’alasendiri yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)
Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا
”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” [HR. Muslim No. 8]
Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adalah bantahan telak terhadap pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.
Pengaruh Rahmat Bagi Non-Islam
Dalam memperlakukan non-Islam (Ahli Dzimmah), mereka mendapatkan hak seperti yang didapatkan oleh kaum Muslimin, kecuali pada perkara-perkara yang terbatas dan perkecualian. Sebagaimana halnya juga mereka dikenakan kewajiban seperti yang dikenakan terhadap kaum Muslimin. Kecuali pada apa-apa yang diperkecualikan. Ialah hak memperoleh perindungan yaitu melindungi mereka dari segala permusuhan eksternal. Ijma’ Ulama umat Islam terjadi dalam hal ini seperti yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi,
“Barangsiapa menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaannya, maka akulah yang menjadi seterunya pada hari Kiamat." [HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi]
Kemudian melindungi darah dan badan mereka, melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan sosial ketika dalam keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja, berusaha dan menjadi pejabat, inilah beberapa contoh dan saksi-saksi yang dicatat sejarah mengenai sikap kaum Muslimin dan pengaruhnya terhadap Ahli Dzimmah.
Islam Bukan Agama Teroris, Bukan Pula Agama Pluralisme
Islam memang agama yang menyebarkan benih-benih kasih sayang, cinta dan damai. Islam secara eksklusif bukan berarti terorisme, tetapi eksklusif dalam pengertian akidah. Yaitu mempercayai dan meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Dan itu harga mati di dalam akidah setiap Muslim. Dan makna itu bukan berarti Terorisme. Secara inklusifnya Islam sendiri mewajibkan umatnya untuk bertoleran sesama manusia. Dan ini tidak bisa diartikan dengan Pluralisme agama.
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwasanya tujuan Islam adalah membangun manusia yang shalih. Tidak mungkin Islam menyebarkan benih-benih terorisme. Dan bila “jihad” dalam pengertian islam adalah menyeru kepada agama yang benar, berusaha semaksimal mungkin baik dengan perkataan ataupun perbuatan dalam berbagai lapangan kehidupan dimana agama yang benar ini diperjuangkan dan dengannnya ia memperoleh kemenangan maka ia, tentunya lebih luas ketimbang “perang” bahkan terorisme.
Dengan Islam yang Rahmatan lil’alamin ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi suatu peradaban yang di dalamnya terdapat pandangan hidup (framework) yang jelas dan universal dalam hal kebenaran.
[Sumber: An-Nur, Solo]
REERENSI:
- Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an.
- Musthafa Muhammad Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2000.
- Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, Jakarta 1994.
- Dr. Yusuf Al-Qardhawy, Pengantar Kajian Islam, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2002.
0 Komentar